Senin, 29 September 2008

Keberanian (Kick) Andy keluar Metro TV


Banyak yang bertanya mengapa saya mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi Metro TV. Memang sulit bagi saya untuk meyakinkan setiap orang yang bertanya bahwa saya keluar bukan karena ‘pecah kongsi’ dengan Surya Paloh, bukan karena sedang marah atau bukan dalam situasi yang tidak menyenangkan. Mungkin terasa aneh pada posisi yang tinggi, dengan ‘power’ yang luar biasa sebagai pimpinan sebuah stasiun televisi berita, tiba-tiba saya mengundurkan diri.
Dalam perjalanan hidup dan karir, dua kali saya mengambil keputusan sulit. Pertama, ketika saya tamat STM. Saya tidak mengambil peluang beasiswa ke IKIP Padang. Saya lebih memilih untuk melanjutkan ke Sekolah Tinggi Publisistik di Jakarta walau harus menanggung sendiri beban uang kuliah. Kedua, ya itu tadi, ketika saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Metro TV.
Dalam satu seminar, Rhenald Khasali, penulis buku Change yang saya kagumi, sembari bergurau di depan ratusan hadirin mencoba menganalisa mengapa saya keluar dari Metro TV. ‘’Andy ibarat ikan di dalam kolam. Ikannya terus membesar sehingga kolamnya menjadi kekecilan. Ikan tersebut terpaksa harus mencari kolam yang lebih besar.’’
Saya tidak tahu apakah pandangan Rhenald benar. Tapi, jujur saja, sejak lama saya memang sudah ingin mengundurkan diri dari Metro TV. Persisnya ketika saya membaca sebuah buku kecil berjudul Who Move My Cheese.Bagi Anda yang belum baca, buku ini bercerita tentang dua kurcaci. Mereka hidup dalam sebuah labirin yang sarat dengan keju. Kurcaci yang satu selalu berpikiran suatu hari kelak keju di tempat mereka tinggal akan habis. Karena itu, dia selalu menjaga stamina dan kesadarannya agar jika keju di situ habis, dia dalam kondisi siap mencari keju di tempat lain. Sebaliknya, kurcaci yang kedua, begitu yakin sampai kiamat pun persediaan keju tidak akan pernah habis.
Singkat cerita, suatu hari keju habis. Kurcaci pertama mengajak sahabatnya untuk meninggalkan tempat itu guna mencari keju di tempat lain. Sang sahabat menolak. Dia yakin keju itu hanya ‘dipindahkan’ oleh seseorang dan nanti suatu hari pasti akan dikembalikan. Karena itu tidak perlu mencari keju di tempat lain. Dia sudah merasa nyaman. Maka dia memutuskan menunggu terus di tempat itu sampai suatu hari keju yang hilang akan kembali. Apa yang terjadi, kurcaci itu menunggu dan menunggu sampai kemudian mati kelaparan. Sedangkan kurcaci yang selalu siap tadi sudah menemukan labirin lain yang penuh keju. Bahkan jauh lebih banyak dibandingkan di tempat lama.
Pesan moral buku sederhana itu jelas: jangan sekali-kali kita merasa nyaman di suatu tempat sehingga lupa mengembangkan diri guna menghadapi perubahan dan tantangan yang lebih besar. Mereka yang tidak mau berubah, dan merasa sudah nyaman di suatu posisi, biasanya akan mati digilas waktu.
Setelah membaca buku itu, entah mengapa ada dorongan luar biasa yang menghentak-hentak di dalam dada. Ada gairah yang luar biasa yang mendorong saya untuk keluar dari Metro TV. Keluar dari labirin yang selama ini membuat saya sangat nyaman karena setiap hari ‘keju’ itu sudah tersedia di depan mata. Saya juga ingin mengikuti ‘lentera jiwa’ saya. Memilih arah sesuai panggilan hati. Saya ingin berdiri sendiri.
Maka ketika mendengar sebuah lagu berjudul ‘Lentera Jiwa’ yang dinyanyikan Nugie, hati saya melonjak-lonjak. Selain syair dan pesan yang ingin disampaikan Nugie dalam lagunya itu sesuai dengan kata hati saya, sudah sejak lama saya ingin membagi kerisauan saya kepada banyak orang.
Dalam perjalanan hidup saya, banyak saya jumpai orang-orang yang merasa tidak bahagia dengan pekerjaan mereka. Bahkan seorang kenalan saya, yang sudah menduduki posisi puncak di suatu perusahaan asuransi asing, mengaku tidak bahagia dengan pekerjaannya. Uang dan jabatan ternyata tidak membuatnya bahagia. Dia merasa ‘lentera jiwanya’ ada di ajang pertunjukkan musik. Tetapi dia takut untuk melompat. Takut untuk memulai dari bawah. Dia merasa tidak siap jika kehidupan ekonominya yang sudah mapan berantakan. Maka dia menjalani sisa hidupnya dalam dilema itu. Dia tidak bahagia.
Ketika diminta untuk menjadi pembicara di kampus-kampus, saya juga menemukan banyak mahasiswa yang tidak happy dengan jurusan yang mereka tekuni sekarang. Ada yang mengaku waktu itu belum tahu ingin menjadi apa, ada yang jujur bilang ikut-ikutan pacar (yang belakangan ternyata putus juga) atau ada yang karena solider pada teman. Tetapi yang paling banyak mengaku jurusan yang mereka tekuni sekarang -- dan membuat mereka tidak bahagia -- adalah karena mengikuti keinginan orangtua.
Dalam episode Lentera Jiwa (tayang Jumat 29 dan Minggu 31 Agustus 2008), kita dapat melihat orang-orang yang berani mengambil keputusan besar dalam hidup mereka. Ada Bara Patirajawane, anak diplomat dan lulusan Hubungan Internasional, yang pada satu titik mengambil keputusan drastis untuk berbelok arah dan menekuni dunia masak memasak. Dia memilih menjadi koki. Pekerjaan yang sangat dia sukai dan menghantarkannya sebagai salah satu pemandu acara masak-memasak di televisi dan kini memiliki restoran sendiri. ‘’Saya sangat bahagia dengan apa yang saya kerjakan saat ini,’’ ujarnya. Padahal, orangtuanya menghendaki Bara mengikuti jejak sang ayah sebagai dpilomat.
Juga ada Wahyu Aditya yang sangat bahagia dengan pilihan hatinya untuk menggeluti bidang animasi. Bidang yang menghantarkannya mendapat beasiswa dari British Council. Kini Adit bahkan membuka sekolah animasi. Padahal, ayah dan ibunya lebih menghendaki anak tercinta mereka mengikuti jejak sang ayah sebagai dokter.
Simak juga bagaimana Gde Prama memutuskan meninggalkan posisi puncak sebuah perusahaan jamu dan jabatan komisaris di beberapa perusahaan. Konsultan manajemen dan penulis buku ini memilih tinggal di Bali dan bekerja untuk dirinya sendiri sebagai public speaker.
Pertanyaan yang paling hakiki adalah apa yang kita cari dalam kehidupan yang singkat ini? Semua orang ingin bahagia. Tetapi banyak yang tidak tahu bagaimana cara mencapainya.
Karena itu, beruntunglah mereka yang saat ini bekerja di bidang yang dicintainya. Bidang yang membuat mereka begitu bersemangat, begitu gembira dalam menikmati hidup. ‘’Bagi saya, bekerja itu seperti rekreasi. Gembira terus. Nggak ada capeknya,’’ ujar Yon Koeswoyo, salah satu personal Koes Plus, saat bertemu saya di kantor majalah Rolling Stone. Dalam usianya menjelang 68 tahun, Yon tampak penuh enerji. Dinamis. Tak heran jika malam itu, saat pementasan Earthfest2008, Yon mampu melantunkan sepuluh lagu tanpa henti. Sungguh luar biasa. ‘’Semua karena saya mencintai pekerjaan saya. Musik adalah dunia saya. Cinta saya. Hidup saya,’’ katanya.
Berbahagialah mereka yang menikmati pekerjaannya. Berbahagialah mereka yang sudah mencapai taraf bekerja adalah berekreasi. Sebab mereka sudah menemukan lentera jiwa mereka. (Diambil dari kickandy.com) Baca Selengkapnya »»

Rabu, 24 September 2008

Bekerja Adalah Ibadah, Mungkinkah?


Cobalah menjawab pertanyaan ini, Untuk apakah Anda bekerja ? dan kepada siapa Anda bekerja ?

Umumnya jawaban atas pertanyaan diatas adalah untuk mencari nafkah (uang) dan bekerja demi keluarga. Jawaban tersebut baik-baik saja namun sadarkah bahwa para koruptor dan para perampokpun menjawab dengan jawaban yang sama. Pertanyaan berikutnya adalah apakah jawaban diatas mewakili slogan bekerja adalah ibadah?

Oleh sebagian besar orang dari para buruh sampai para petinggi negara bekerja adalah ibadah adalah hal yang mustahil dilakukan karena antara bekerja dan ibadah adalah dua hal yang berbeda dan tidak ada kaitannya. Bekerja adalah sesuatu yang harus kita lakukan untuk mendapatkan uang guna memenuhi kebutuhan dan gaya hidup. Sementara ibadah adalah aktivitas individual yang terkait hubungan antara Sang Pencipta dengan manusia sebagai ciptaanNYA. Pekerja yang menganut konsep ini memahami ibadah sebagai kegiatan ritual seperti pergi ke rumah ibadah, shalat, puasa, naik haji, berdoa, atau membaca kitab suci. Orientasi Ibadah adalah melakukan pekerjaan yang berorientasi pada kehidupan akhirat, sementara bekerja berorientasi duniawi.

Yang berikutnya adalah orang yang percaya bahwa bekerja adalah ibadah, namun dengan pemahaman yang kurang tepat. Bagi mereka, bekerja adalah usaha untuk menafkahi keluarga, untuk menghidupi dan membesarkan anak-anak. Dengan demikian, bekerja adalah sesuatu yang mulia dan bermakna ibadah.

Konsep tersebut baik-baik saja. Namun, selama alasan Anda bekerja masih berkisar pada menghidupi dan menafkahi keluarga, Anda sebenarnya masih belum berjalan di tataran bekerja adalah ibadah. Terlepas dari betapa baiknya tugas yang Anda emban itu, tujuan dan motivasi Anda bekerja sebenarnya hanyalah mencari uang. Anda bekerja untuk bertahan hidup. Kepuasan dan kenikmatan yang Anda dapatkan dari bekerja hanya bersumber dari kemampuan Anda memenuhi kebutuhan fisik belaka. Dengan demikian, Anda belum menemukan makna dan keindahan bekerja itu sendiri.

Puncak kenikmatan atau kepuasan bekerja terletak pada dari melakukan pekerjaan itu sendiri. Bekerja dapat melahirkan kenikmatan yang luar biasa bagi orang yang melakukannya dan dalam melakukan pekerjaan itu adalah something comes out dari batin kita sehingga ada suatu kepuasan yang luar biasa saat kita menemukan bahwa banyak orang terberkati atau terbantu dengan pekerjaan yang kita lakukan. Kebahagiaan yang kita dapat dari pekerjaan yang kita lakukan adalah menemukan bahwa pekerjaan kita memiliki makna dan arti yang luar biasa bagi siapa pun yang menikmati hasil pekerjaan kita.

Bekerja adalah ibadah dasarnya adalah melandasi setiap aktivasi bekerja pada melakukan seperti untuk TUHAN. Disini kita menyadari bahwa DIAlah owner dari pekerjaan yang kita miliki. Pada DIAlah kita mempertanggung jawabkan semua hasil pekerjaan kita. Dan hasil pekerjaan kita haruslah bersumber pada keuntungan pada orang lain bukan bersumber pada keuntungan pribadi sehingga dengan hasil kerja kita dapat mencerahkan kehidupan orang lain. Karena alasan inilah bekerja sebagai ibadah tidak cukup hanya menggunakan otot dan otak namun lebih dari itu kita juga harus mengunakan hati kita .

Jika Anda masih bekerja semata-mata demi uang atau Anda bekerja karena ingin membina hubungan atau untuk tumbuh maka Anda hanya akan mencapai kesuksesan, bukan kebahagiaan. Kebahagiaan hanya akan dapat dicapai kalau Anda benar-benar sadar bahwa tugas Anda adalah melayani orang lain dan memberikan yang terbaik yang Anda miliki. (AB)

Baca Selengkapnya »»

Kamis, 18 September 2008

Kopi Manis dan Pahit

Memiliki cangkir yang cantik, analogi dari jabatan, pekerjaan dan kekayaan yang memuat kopi enak, analogi hidup dan kehidupan, memang menjadi dambaan setiap orang. Itu adalah dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Dalam keadaan normal, hukum keseimbanganlah yang berlaku. Dalam kondisi konflik, hukum prioritaslah yang harus didahulukan. Ini bukan pilihan buah simalakama, pilihan misi hidup yang sebenarnya sudah sangat jelas digariskan Sang Pencipta. Kopi dulu baru bicara cangkirnya.

"Yang paling saya rindukan saat ini Pak, suami ada di samping saya, mendampingi saya. Dalam kondisi sakit begini, saya tidak butuh apa-apa lagi. Saya hanya menginginkan suami mau duduk menemani saya. Bukan hanya membiayai pengobatan yang mahal, makanan yang enak dan perawatan di rumah sakit kelas yang paling utama," keluh seorang istri yang sedang sakit berat pada kami dalam sebuah visitasi.

"Lho, kenapa begitu? Ada apa memang dengan suamimu?" kami bertanya untuk mendalami harapannya. "Dia memang pekerja keras, kariernya cemerlang sehingga sampai pada kedudukan seperti ini. Rumah kami besar dan segala kebutuhan material kami dipenuhi," ujarnya setengah mendesah. "Tapi," ia berkata sembari sesenggukan dan menyeka air matanya yang mulai berlinang, "sejak ia jadi bos, kami merasakan hubungan kami semakin renggang. Kami jarang berkomunikasi. Kami hanya bicara seperlunya dan kehilangan kehangatan seperti kala ia masih pemimpin tingkat menengah."

Kami tertegun lesu. Sebuah harapan yang sangat sederhana sebenarnya. Tatkala gelimangnya uang dan kehormatan kekuasaan tak mampu menyembuhkan rasa sakitnya, sang istri tidak menuntut banyak dari laki-laki yang dulu pernah jadi idolanya.

Sekali lagi, fokus pada cangkir yang cantik justru kerap merusak kenikmatan kopi nan hangat yang seharusnya menjadi prioritas pertama dan utama. Banyak pemimpin yang kelihatannya sukses diukur dari karier, pangkat dan kekayaan, tapi kehilangan kehangatan cinta dari bawahan dan pelanggannya, apalagi keluarganya di rumah.

Pemilik kopi pahit, karena sumbernya sudah pahit, senantiasa mengeluarkan kepahitan kala orang meneguknya. Banyak bawahan dan kolega yang mengalami kepahitan tatkala diskusi dan minta petunjuk. Kalimat kasar dan merendahkan sering keluar, tanpa ada rasa takut menyakiti hati orang. Orang terpaksa mengiyakan dan menyetujui bukan karena mengerti, tapi karena takut dan tak mau berhubungan lebih lama lagi. Kalau bisa menghindar, adalah skenario yang selalu dipikirkan. Hanya karena ia punya kuasa, banyak orang terpaksa harus datang dan berdialog soal tugas dan pekerjaan. Lain dari itu, tidak.

Jangankan usul sesuatu yang baru, membuat ide perbaikan saja harus menunggu saat yang tepat kala ide itu harus bersentuhan dengan sesuatu yang dikenal sebagai "konsep si bos". Daripada tersiram kopi pahit, lebih baik diam, tunduk dan menunggu. Pokoknya, mereka mengiyakan apa yang bos mau. Sewaktu implementasi, soal lain. Banyak bawahan yang tak walk the talk, karena mereka memang tak berani talk the walk. Lari, kalau bisa dan sempat.

Pemilik kopi enak dan manis memiliki kecenderungan sebaliknya. Ia digali dan ditimba banyak orang. Bukan soal pekerjaan, target dan aktivitas kantor saja, tapi ia juga menjadi sumber inspirasi bagi sebuah nilai kehidupan. Bawahan dan rekan kerja betah bercerita berlama-lama soal kualitas kopi masing-masing. Soal anak dan istri, juga soal cinta dan dosa. Tak ada yang ditakuti. Darinya diperoleh pencerahan yang mendalam. Ia sangat memperhatikan kehidupan di luar lingkaran PDCA (plan-do-check-action).

Kalau begitu, izinkan saya bertanya, "Kopi Anda manis juga, kan?"

Paulus Bambang
Vice President PT. United Tractor.Tbk
Baca Selengkapnya »»

Selasa, 16 September 2008

Antara Kopi dan Cangkir

Sekelompok alumni sebuah universitas mengadakan reuni di rumah salah seorang profesor favorit mereka yang dianggap paling bijak dan layak didengarkan. Satu jam pertama, seperti umumnya diskusi di acara reuni, diisi dengan menceritakan (baca: membanggakan) prestasi di tempat kerja masing-masing. Adu prestasi, adu posisi dan adu gengsi, tentunya pada akhirnya bermuara pada berapa $ yang mereka punya dan kelola, mewarnai acara kangen-kangenan ini.

Jam kedua mulai muncul guratan dahi yang menampilkan keadaan sebenarnya. Hampir semua yang hadir sedang stres karena sebenarnya pekerjaan, prestasi, kondisi ekonomi, keluarga dan situasi hati mereka tak secerah apa yang mereka miliki dan duduki. Bahwa dolar mengalir deras, adalah sebuah fakta yang terlihat dengan jelas dari mobil yang mereka kendarai serta merek baju dan jam tangan yg mereka pakai. Namun di lain pihak, mereka sebenarnya sedang dirundung masalah berat, yakni kehilangan makna hidup. Di satu sisi mereka sukses meraih kekayaan, di sisi lain mereka miskin dalam menikmati hidup dan kehidupan itu sendiri. They have money but not life.

Sang profesor mendengarkan celotehan mereka sambil menyiapkan seteko kopi hangat dan seperangkat cangkir.
Ada yang terbuat dari kristal yang mahal, ada yang dari keramik asli Cina oleh-oleh salah seorang dari mereka, dan ada pula gelas dari plastik murahan untuk perlengkapan perkemahan sederhana. “Serve yourself,” kata profesor, memecah kegerahan suasana. Semua mengambil cangkir dan kopi tanpa menyadari bahwa sang profesor sedang melakukan kajian akademik pengamatan perilaku, seperti layaknya seorang profesor yang senantiasa memiliki arti dan makna dalam setiap tindakannya.

“Jika engkau perhatikan, kalian semua mengambil cangkir yang paling mahal dan indah. Yang tertinggal hanya yang tampaknya kurang bagus dan murahan. Mengambil yang terbaik dan menyisakan yang kurang baik adalah sangat normal dan wajar. Namun, tahukah kalian bahwa inilah yang menyebabkan kalian stres dan tidak dapat menikmati hidup?” sang profesor memulai wejangannya. “Now consider this: life is the coffee, and the jobs, money and position in society are the cups. They are just tools to hold and contain life, and do not change the quality of life. Sometimes, by concentrating only on the cup, we fail to enjoy the coffee provided,” kali ini kalimatnya mulai menekan hati. “So, don't let the cups drive you, enjoy the coffee instead,” demikian ia berkata sambil mempersilakan mereka menikmati kopi bersama.

Sewaktu membaca e-mail yang dikirim rekan saya Ucup, begitu panggilan akrabnya, saya ikut tertegun. Sesederhana itu rupanya. Profesor yang bijak selalu membuat yang sulit jadi mudah, sedangkan politikus selalu membuat yang mudah jadi sulit. Betapa banyak di antara kita yang salah menyiasati hidup ini dengan memutarbalikkan kopi dan cangkir. Tak jelas apa yang ingin kita nikmati, kopi yang enak atau cangkir yang cantik.

Ada tiga tipe pekerja (baca: profesional dan pengusaha) yang sering kita lihat dalam menyiasati kopi dan cangkir kehidupan ini. Pertama, pekerja yang sibuk mengejar pekerjaan, jabatan yang akhirnya hanya bertumpu pada kepemilikan jumlah dan kualitas cangkir kehidupan. Paradigmanya sangat sederhana, semakin banyak cangkir yang dipunyai, semakin bercahaya. Semakin bagus cangkir yang dimiliki akan mengubah rasa kopi menjadi enak. Fokus hidup hanya untuk menghasilkan kuantitas dan kualitas cangkir. Ini yang menyebabkan terus terjadinya persaingan untuk menambah kepemilikan. Sukses diukur dengan seberapa banyak dan bagus apa yang dimiliki. Kala yang lain bisa membeli mobil mewah, ia pun terpacu mendapatkannya. Alhasil, tingkat stres menjadi sangat tinggi dan tak ada waktu untuk membenahi kopi. Semua upaya hanya untuk bagian luar, sedangkan bagian dalam semakin ketinggalan.

Kedua, pekerja yang menyadari bahwa kopinya ternyata pahit -- artinya hidup yang terasa hambar; penuh kepahitan, dengki dan dendam; serta tak ada damai dan kebahagiaan -- mencoba menutupnya dengan menyajikannya dalam cangkir yang lebih mahal lagi. Pikirannya juga sangat mudah, kopi yang tidak enak akan terkurangi rasa tidak enaknya dengan cangkir yang mahal. Rasa kurang dicintai rekan kerja, dikompensasi dengan mengadopsi anak asuh dan angkat. Tak merasa diperhatikan, dibungkus dengan memberikan perhatian pada korban gempa di Yogyakarta. Tak menghiraukan lingkungan, ditutup halus dengan program environmental development yang harus diresmikan pejabat Kementerian Lingkungan Hidup. Tak memperhatikan orang lain dengan tulus, dibalut dengan program community development yang wah. Kalau tidak hati-hati, akan muncul pengusaha kaum Farisi yang munafik bagai kubur bersih, tapi di dalamnya sebenarnya tulang tengkorak yang jelek dan bau.

Ketiga, ada pula pekerja yang berkonsentrasi membenahi kopinya agar lebih enak, semakin enak dan menjadi sangat enak. Tipe ini tak terlalu pusing dengan penampilan cangkir. Pakaian yang mahal dan eksklusif tak mampu membuat borok jadi sembuh. Makanan yang mahal tak selalu membuat tubuh jadi sehat, malahan yang terjadi acap sebaliknya. Fokus pada kehidupan dan hidup menyebabkan ia dapat santai menghadapi hari-hari yang keras. Ia tak mau berkompromi dengan pekerjaan yang merusak martabat, sikap dan kebiasaan. Menyuap yang terus-menerus dilakukan hanya akan membuat dirinya tak mudah bersalah kala disuap. Fokus pada kopi yang enak, membuat ia tak mudah menyerah pada tuntutan pekerjaan, tekanan target penjualan yang mengontaminasi karakternya. Baginya, ini adalah kebodohan yang tak pernah dapat dipulihkan.

Profesor hidup lain lagi pernah berpetuah, ”Take no thought for your life, what you shall eat or drink, nor your body what you shall put on. Is not the life more than meat and the body than raiment?” Kalau kita tidak sadar, kita bakal terjerembap: mengkhawatirkan cangkir padahal seharusnya kita fokus pada kopi. Enjoy your coffee, my friend!

Paulus Bambang (Vice President PT. United Tractors Tbk.)

Baca Selengkapnya »»

Kamis, 11 September 2008

Mempercantik Reputasi


Anda tahu kan siapa dia? benar dialah Dewi Sandra. Anda tahu karena kecantikannya bukan? Di dunia ini kecantikan bagai magnet yang menarik perhatian semua pihak terhadap pemiliknya. Dengan bekal ini pemiliknya dapat menuai banyak peluang yang ada, baik yang tertarik datang dengan sendirinya maupun yang sengaja dipikat. Pantas saja banyak wanita cantik dipinang oleh banyak orang kaya. Namun cantik fisik aja tidaklah cukup di jaman sekarang perlu juga dibarengi dengan inner beauty atau kecantikan batin, sikap dan perilaku. Nah kalau sekomplit ini yang antri sebanyak orang antri BBM haha.. Saya mau bertanya nih, Anda pilih mana cantik tapi hatinya jahat atau hatinya baik tapi penampilan jelek, ayo pilih mana? katanya lebih baik pilih yang cantik karena Tuhan bisa mengubah hati seseorang namun tidak bisa mengubah wajah seseorang. Betulkan? haha.. bercanda nih.

Oke mari kita kembali serius nih. Kecantikan dalam dunia usaha biasa kita kenal dengan reputasi. Reputasi adalah intangible asset atau aset yang tak berwujud yang mampu membentuk suatu competitive advantage, suatu kekuatan pembeda yang mendukung value creation, tidak tergantikan, dan sulit ditiru. Reputasi yang baik mendatangkan ganjaran yang tidak saja bersifat finansial berupa revenue dan profit tetapi juga menggaransi pihak-pihak terkait terhadap resiko yang melekat padanya. Reputasi yang baik dapat mempertahankan kesetiaan pelanggan, menjadi bibit word of mouth yang dapat menarik pelanggan baru, dan dalam jangka panjang menjadi kunci untuk memenangkan persaingan bisnis.


Tidak heran jika reputasi perusahaan merupakan aset strategis, karena reputasi dapat meningkatkan value dari perusahaan yang bersangkutan. Reputasi yang kuat membantu perusahaan tidak hanya dalam menjual produknya dengan harga yang menguntungkan, tetapi juga dalam menarik karyawan berpotensi tinggi untuk bekerja padanya. Perusahaan dengan reputasi yang kuat cenderung menjadi perusahaan idaman dan incaran bagi profesional yang qualified. HM Sampoerna adalah contohnya, siapa yang tak kenal reputasi profesionalitasnya hingga Philips Morris membelinya diatas nilai buku yang konon mencapai 5 triliun rupiah atau siapa yang tak kenal citibank sebagai incaran para profesional yang ingin berkarir cemerlang sebagai banker. Citibank adalah sekolah para banker.
Kecenderungan selama ini adalah perusahaan melihat reputasi perusahaan lebih berdasarkan persepsi internal dan kemudian persepsi tersebut diposisikan sebagai indikator dari performa perusahaan di masa lampau. Perusahaan seperti ini lamban memberi perhatian pada aspek-aspek operasi bisnis yang berorientasi pada perkembangan bisnis ke depan.


Kecantikan dapat dibangun dan dipelihara, demikian pula halnya dengan reputasi. Reputasi tidak lepas dari harapan stakeholdernya, baik yang rasional maupun emosional. Kecantikan sejati terpancar dari dalam diri pemiliknya (inner beauty), demikian pula reputasi sejati terefleksikan dalam kegiatan operasional sehari-hari. Reputasi sejati hanya akan nampak jika telah menjadi bagian dari karakter, budaya, dan
DNA perusahaan. Membangun reputasi ibarat menaruh deposit di bank. Dalam situasi yang kondusif, bunganya tumbuh dengan baik. Di saat krisis, dapat ditarik untuk dipakai sesuai kebutuhan.


Saat keadaan memaksa perusahaan untuk berubah, tidak sedikit perusahaan dalam mengelola reputasinya hanya dengan perubahan di permukaan kulit saja. Padahal perubahan kosmetis seperti penggantian logo semata tidak akan berarti banyak. Pengelolaan reputasi, apalagi bagi perusahaan yang baru saja mengalami krisis, membutuhkan perubahan yang fundamental dalam satu proses yang terintegrasi.


Reputasi yang kuat dibangun dari tindakan operasional sehari-hari yang konsisten dengan tata nilai perusahaan, tidak cukup satu gebrakan saja. Diperlukan segmentasi dan penentuan skala prioritas untuk membidik stakeholder yang secara kritis mempunyai dampak yang tinggi (high impact), misalnya influencer yang dapat merubah opini. Untuk menjembatani perusahaan dengan stakeholdernya baik dalam masa krisis maupun masa 'damai' tentu saja dibutuhkan komunikasi yang proaktif dan terencana dengan baik.


Memberikan nilai tambah yang disertai dengan efek kejut, layanan yang prima, dan hubungan baik yang selalu terjaga dapat berasosiasi pada "preferred choice" di antara stakeholder. Hubungan yang baik tercipta melalui transparansi dan konsistensi yang membentuk kredibilitas, menimbulkan kepercayaan dan respek stakeholder. Ditopang oleh tanggung jawab yang dijunjung tinggi serta komunikasi yang tepat, elemen-elemen ini akan sangat bernilai bagi terbentuknya reputasi yang baik. (AB)
Baca Selengkapnya »»

Sabtu, 06 September 2008

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA

Baca Selengkapnya »»

Watak dan Watuk

People change. Singkat dan padat untuk dijadikan jawaban pamungkas bila tak mampu memahami perubahan perilaku kolega kita. Kalau arah perubahan dari negatif ke positif, kalimat itu diucapkan dengan intonasi sopran atau tenor dengan senyum simpul tanda asa baru. Sebaliknya, bila perubahan ke arah negatif, maka intonasinya alto atau bas dengan nada getir tanda tak mafhum.

Sayangnya, kebanyakan orang bergerak positif-negatif tak beraturan. Kalau angin lagi ke arah positif, ia pun ikut terseret positif. Sebaliknya begitu pula. Sehingga, muncul sindiran seperti bunglon dan oportunis untuk konotasi negatif; sedangkan fleksibel dan adaptif untuk konotasi positif.

Idealisme sewaktu mahasiswa ataupun dosennya mahasiswa dengan teriakan reformasi seakan-akan sirna tak berbekas tatkala sudah duduk di birokrasi. Korupsi bukan menjadi lawan lagi. Dengan intelektualitas yang lebih tinggi, korupsi ditelikung dengan gaya yang jauh lebih canggih dan soft dibanding era sebelumnya. ”Kan bukan untuk kepentingan pribadi,” kilahnya tanpa rasa bersalah. ”Itu hanya sumbangan wajar untuk yayasan istri saya,” ada pula yang lugu berargumen begitu. ”Kok cepat berubah ya,” sergah teman yang tak percaya. ”People change,” jawab saya pendek.

”Dulu, dia adalah seorang yang .......,” ini adalah ungkapan perubahan ke arah yang tak sesuai dengan harapan bila dihubungkan dengan perubahan perilaku. ”Dia sudah sukses, terhormat, kaya dan memiliki segalanya. Sayang dia tidak seperti yang dulu kita kenal,” begitu ungkapan lain dari seseorang yang kehilangan kehangatan seorang sahabat. Bukannya bangga memiliki sahabat yang sukses, melainkan mengelus dada, sebab sahabat itu tidak seperti yang dibayangkannya. People change.

Kala sang idola berubah, pengidola juga cepat berubah. Idola yang menjadi panutan karena budi pekerti dan antipoligami berubah menjadi alergi pengidola tatkala sang idola dengan terpaksa harus menikah lagi. Simbol politisi yang bersih dan idealis langsung tersungkur menjadi cercaan pengikutnya hanya karena menerima dana nonbujeter. Kalau sang pemimpin bisa berubah, pengikut pun bisa berubah. Sekali lagi, people change.

Pertanyaannya, kenapa ada yang cepat berubah dan kenapa ada pula yang mampu bertahan? Ada yang sangat cepat ”menyesuaikan diri” dengan lingkungan; ada yang mencoba terus bertahan terhadap pencemaran lingkungan; dan ada pula yang justru mampu mengubah lingkungan. Reposisi itu bukan soal kesempatan dan kemampuan, melainkan: kemauan. Ada sistem nilai di relung hati yang paling dalam, yang bekerja saat situasi dan kondisi sangat kondusif untuk netral; melakukan dan tidak melakukan.

Dalam bahasa filosofi, itu adalah sesuatu yang rooted dan grounded dalam hati manusia. Dalam bahasa manajemen, itu adalah karakter. Sementara itu, saya lebih senang menyebutnya sebagai watak. Kalau perubahan itu disebabkan faktor watak – yang acap kali baru muncul setelah ada kesempatan, kemampuan dan kemauan – maka, ia menjadi perubahan yang permanen.

Seseorang yang memiliki watak penggerak kehidupan berorientasi pada kekayaan materi, maka seluruh aktivitas, koneksivitas serta kolektivitas dihubungkan dengan asas return on investment dan what’s in it for me. Karya kehidupannya tak jauh dari mammon (pendewaan kekayaan – Red.) atau yang disebut uang. Perilakunya akan berubah ketika menghadapi orang dengan tingkat kepemilikan kebendaan yang berbeda.

Orang hanya menghormati orang lain yang lebih kaya dibanding dirinya. Bisa bersikap merendah dan mengagumi hanya bila orang lain itu makmur. Sikap, tutur kata dan olah gerak menjadi sangat sopan hanya karena tamu terhormat itu memiliki harta. Seluruh perilakunya berubah tatkala berhadapan dengan orang yang lebih berada. Dan, itu bisa terjadi dalam bilangan detik tatkala bertemu dengan kolega dalam reuni teman-teman semasa SMA. People change.

Apabila wataknya adalah haus kekuasaan, ia akan tunduk pada orang yang lebih berkuasa atau yang mampu mendudukkan ia di kursi kekuasaan. Teman bisa diubah menjadi lawan kalau itu menghambatnya memperoleh kursi kekuasaan. Sahabat sejatinya adalah kekuasaan. Itu artinya bermain dalam politik menang-kalah. Berkuasa atau dikuasai. Jangankan rekan pemasok, pelanggan dan kolega, pemimpin langsung pun sering dilibas bilamana ia mampu masuk ke akses pemimpin dari pemimpinnya. Dan, itu bisa terjadi dalam bilangan bulan tatkala ia harus mulai unjuk kekuasaan. People change.


Namun, terkadang perubahan perilaku bukan karena perubahan watak. Orang terpaksa harus berubah untuk suatu saat mampu mengubah. Atau, ia berubah karena ketidakmampuan dalam mengubah kondisi lingkungan. Ia diubah oleh keadaan. Tak mampu bertahan apalagi mengubahnya. Ia masuk dalam kategori terkena penyakit watuk (batuk dalam bahasa Jawa). Sebagai orang sakit, ia bisa lemah, lesu, lelah, dan kelihatan kalah. Toh, perubahan itu hanyalah sementara. Ketika ia sudah sehat, ia akan kembali seperti yang dulu.

Memang sulit untuk tidak tertular watuk kalau lingkungan sedang terkena endemi influenza. Apalagi, kalau ia bermaksud menolong yang sakit flu. Ia harus berani terkena flu, sekalipun ia hanya bermaksud menolong si penderita flu. Kalau ia ceroboh malah akan mudah tertular; kalau tidak, bukan tidak mungkin ia tetap imun. Lingkungan bisnis, politik dan birokrasi boleh korupsi, tetapi bukan berarti kita boleh ikut melakukannya. Banyak pengusaha menekan karyawan, bukan itu yang menjustifikasi kita melakukan yang sama agar bisa kompetitif di pasar. Banyak yang memalsukan merek luar negeri pada produk lokal, tapi itu bukan contoh yang harus ditiru untuk tetap survive.


Tidak ada yang sempurna melawan pengaruh lingkungan. Yang menjadi masalah, bila lingkungan yang buruk mengubah watak kita. Kalau sekadar tertular watuk masih ada obatnya, tapi kalau sudah ke arah watak, setan pun tak mampu mengontrolnya, apalagi seorang manusia yang berpangkat pemimpin. Yang ini sudah urusan Tuhan Sang Pencipta. (Paulus Bambang – Vice President United Tractor)

Baca Selengkapnya »»

Selasa, 02 September 2008

Trainer is not Magician


Empat bulan lalu, perusahaan tempat istri saya kerja mengundang AW guna training motivasi. Biaya investasi yang dikeluarkan tak kurang dari 30 juta rupiah hanya untuk 4 jam dan beberapa hari yang lalu ada juga perusahaan lain yang mengundangkan trainer leadership specialist dengan investasi 2,5 juta rupiah per peserta untuk satu hari training. Bayangkan berapa rupiah yang masuk kantong trainer bila ada 30 peserta. Dengan besarnya investasi tersebut secara otomatis besar pula harapan perubahan yang diharapkan owner dari peserta training. Seakan-akan owner berharap dengan semakin terkenalnya pembicara dan semakin besar investasi training maka perubahan dapat terjadi seperti membalikkan tangan. Kejadian serupa pernah saya alami sewaktu masih bekerja sebagai profesional di salah satu perusahaan di Surabaya. Owner juga menginginkan satu kali sesi training dan karyawan harus menunjukan perubahan. Training ini dilakukan secara internal oleh staf perusahaan yang otomatis tak memerlukan dana yang besar namun tetap saja owner menuntut harapan yang tinggi sementara support lainnya tidak diberikan.

Alih-alih perubahan perilaku dan kinerja terjadi, sebagian mereka tambah malas dengan training dan menganggap training tak memberikan faedah dalam diri mereka, training hanya semacam penambahan pengetahuan saja. Namun ada pula yang meningkat motivasi dan kinerjanya, sayangnya hanya bertahan beberapa bulan saja bahkan ada yang hanya beberapa minggu dan setelah itu kembali pada perilaku dan kinerja yang lama. Dan bila kejadian seperti ini berulang beberapa kali justru mereka akan antipati dengan yang namanya training.

Harapan owner pada kenyataannya tak bersambut, lalu dimana letak salahnya? Yang perlu diubah adalah persepsi bahwa trainer bukanlah pengubah, trainer bukanlah magician yang saat dia berbicara lalu simsalabim... perubahan terjadi. Tak peduli siapapun trainer-nya, tak peduli berapa mahal dan hebat teknik training-nya, perubahan tetaplah berasal dari dalam diri masing-masing peserta. Trainer hanyalah seorang pematik api, penggugah motivasi dalam diri peserta. Untuk perubahan perilaku diperlukan peran aktif peserta.

Setidaknya ada beberapa hal yang membuat training menjadi efektif dalam menggerakkan perubahan perilaku dan kinerja, antara lain :

1. Sikap peserta training, bersikap seperti bensin atau seperti air. Sikap ini juga dipengaruhi oleh kondisi hidup atau kondisi kerja peserta baik permasalahan yang dihadapi maupun harapan di masa depan. Nah disini keahlian trainer diperlukan untuk mengekplorasi dan menyadarkan peserta training akan fakta riil dalam kehidupannya dan menaruh harapan baru di masa depan. Bila peserta bersikap seperti bensin, maka terjadilah api yang membara dalam diri peserta dan membakar semangat perubahan dalam dirinya. Namun bila peserta bersikap seperti air tak kan terjadi api sedikitpun walaupun trainer udah berbicara meledak ledak dan berbusa busa.

Anda tahu kan Tung Dusem Waringin (TDW)? Anda tahu bagaimana dia berubah? kala itu TDW berada di siklus terendah dalam kehidupannya yakni saat ayahnya terkena penyakit parah dan harus diobati di Singapura. TDW dan saudaranya harus menguras habis uangnya demi kesembuhan sang ayah. Ironisnya gaji TDW selama sebulan sebagai Branch Manager cabang utama BCA di Malang tak cukup membiayai biaya pengobatan dan rawat inap satu hari di Singapura. Hal ini memicu ketakutan TDW akan masa depan keluarganya bila kejadian yang sama berulang. Saat itulah dia membunyikan genderang perubahan sembari mencari jalan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Lalu diapun ikut training Anthony Robbin yang konon investasinya US$ 25.000 dengan menjual satu-satunya asetnya yaitu sebidang tanah. Dengan kondisi bensin seperti inilah, sewaktu training diberikan gayungpun bersambut dan api perubahan TDWpun membara kian gila. Selanjutnya Anda tahu kan bagaimana sekarang TDW.

Dengan kondisi yang dramatis, ketakutan akan masa depan dan disertai pengorbanan yang besar seakan menciptakan moment yang pas yang menggerakkan roda perubahan. Disisi yang lain peserta training corporate yang notabene tak mengeluarkan biaya sepersenpun, yang cukup puas dengan kinerja mereka dan menganggap perubahan sesuatu yang menyakitkan bagi kenyamanan mereka tentu membuat mereka tetap berada pada status quo. Namun syukurlah masih ada sebagian yang ingin keluar kotak kenyamanan dan bersikap seperti bensin.

2. Upaya berikutnya adalah menjaga api tetap menyala dan menyulut api-api baru lainnya dengan cara kontinuitas training, artinya training tidaklah cukup dilakukan hanya sekali namun perlu upaya sistematis dan berkesinambungan terhadap training-training berikutnya yang dibutuhkan untuk me-maintance dan meningkatkan kualitas perubahan. Training motivasi, personal development, etos kerja, leadership, team work, pengetahuan dan ketrampilan per masing-masing bagian juga perlu dilakukan. Tentunya melalui training needs analysis, design training, implementasi dan evaluasi training

3. Dukungan budaya perusahaan, seringkali training tidak menjadi efektif karena kurangnya dukungan budaya perusahaan yang selama ini sudah mendarah daging sehingga justru memadamkan api perubahan yang telah membara. Budaya perusahaan ini lebih mencerminkan karakter owner atau si pengambil keputusan puncak. Nah kalau udah begini tentunya perubahan diri sang pemimpin sangat mutlak diperlukan sebagai role model bagi para bawahannya.

4. Sistem kerja, setelah budaya perusahaan berubah maka perlu upaya konkret dalam men-design sistem kerja yang mendukung peningkatan kinerja per masing-masing departemen. Efektifitas struktur organisasi, standard operation prosedure, standard administrasi prosedure, peraturan perusahaan, reward and punisment, standard control internal dll.

Dengan dukungan 4 hal diatas maka harapan perubahan pasca training niscaya akan terjadi. Sekali lagi trainer is not magician. Sukses selalu (AB)

Baca Selengkapnya »»

Born to be DIFFERENT


Apa yang terlihat menarik dari gambar diatas? Anda tentunya melihat seekor bebek yang berbeda dengan bebek-bebek lainnya. Warna boleh sama ukuran boleh sama tapi dia tetap beda dari kebanyakan. Dan hebatnya dia menjadi pusat perhatian Anda bukan? bukan cuma Anda seorang, dia juga mendapat perhatian dari banyak pembaca lainnya dari blog ini. Menjadi berbeda akan membuat Anda menjadi pusat perhatian. Anda akan berada pada titik spot light dan membuat Anda mudah dikenali. Setelah Anda dikenali, menjadi berbeda menjadikan Anda sumber inspirasi yang akan mendorong orang lain untuk mengikuti jejak Anda. Lihat saja bagaimana Aqua diekori oleh merk-merk AMDK lainnya atau bagaimana perusahaan IT mengikuti Apple dengan iPod yang fenomenal. Saat ini public figure yang menyedot perhatian dunia international tak lain adalah Barrack Obama capres presiden Amerika Serikat yang berkulit hitam. Obama menjadi satu-satunya capres dari kulit hitam sepanjang sejarah Amerika dan gencar mengkampanyekan perubahan yang menjanjikan harapan baru bagi Amerika dan politik international. Karena berbeda inilah dia mendapatkan spotlight. Bahkan pidatonya di konvensi partai demokrat 28 Agustus lalu mencetak rekor pemirsa Amerika lebih dari 40 juta penduduk Amerika menontonnya. Di dunia internetpun pidato Obama laris manis dicari melebihi tema seks yang selama ini dominan. Wow fantastis kan? karena Obama berbeda.

Menjadi berbeda adalah kodrat kita sebagai manusia yang dilahirkan dibumi ini. Namun sayangnya banyak dari antara kita hidup bukan atas kodrat menjadi berbeda, malah sebaliknya menjadi sama dengan apa yang diinginkan oleh lingkungan dan keluarga kita. Kita terkungkung oleh "apa katanya" lingkungan kita dan kita berjalan seiring dengan apa yang ada disekitar kita.

Tahukah Anda dari 6 miliar penduduk dunia, tak ada satupun yang mirip 100% dengan Anda. Bukan secara fisik namun secara kepribadian, pola pikir, karakter, tindakan, dan khususnya tujuan pribadi (misi) kita berbeda. Faktanya banyak dari antara kita menjadi plagiat dari orang lain, menjadi sama dengan yang lain. Banyak pula keluarga dan lingkungan yang memaksakan kita untuk menjadi sama seperti yang mereka inginkan. Menjadi berbeda bicara tentang menjadi seperti yang kita inginkan dan disinergikan dengan seperti apa yang Tuhan inginkan atas kehidupan kita.

Pemaksaan menjadi sama seperti yang mereka inginkan adalah suatu yang menyiksa diri. Anda bayangkan bagaimana seekor mamoth (gajah purba) bertingkah seperti tupai dalam Ice Age2 atau seekor harimau bertingkah seperti domba. Jadinya adalah kelucuan yang berujung pada keprihatinan. Sementara menjadi berbeda adalah perjuangan yang berujung pada kesukacitaan.

Untuk menjadi beda Anda harus tahu apa talenta terbaik Anda dan paham bagaimana mengembangkannya sebagai suatu keunggulan Anda. Setiap orang terlahir dengan talenta atau kelebihan tersendiri. Tak peduli siapa Anda dan bagaimana latar belakang Anda. Anda pasti punya talenta itu at least satu talenta. Talenta ini perlu terus dikembangkan agar terjadi suatu pelipatgandaan yang ujungnya menjadi suatu keunggulan tersendiri bagi Anda.

Untuk menjadi beda Anda harus punya passion (hasrat terdalam) atas apa yang Anda lakukan apapun itu tentunya bukan passion korupsi haha... Passion inilah yang akan mendorong potensi terbaik Anda dan merefleksikan karya Anda dengan balutan cinta di dalamnya sehingga setiap orang akan merasakan ada power dalam diri Anda yang keluar. Dan power inilah yang menjadikan Anda sebagai kontributor positif bagi dunia.

Percayalah keberadaan Anda didunia ini juga memberikan warna yang berbeda. Anda memiliki misi yang berbeda dengan orang lain. Anda berkontribusi positif terhadap dunia ini dengan segala yang ada dalam diri Anda dan dengan apa yang bisa Anda lakukan. Tak peduli seberapa besar atau kecil peranan Anda, Anda tetap dibutuhkan. You were born to be different to make this world better. (AB)

Baca Selengkapnya »»