Sabtu, 23 Agustus 2008

Percayalah dan Anda Mendapatkan

Hal yang saya suka saat jalan-jalan di Mall adalah kala istri saya ada di sisi saya. Kehadirannya membuat saya merasa lebih PD karena seringkali saya amati banyak kaum adam selalu mencuri pandang pada istri saya. Saya ga iri lho karena kalau kaum adam pada ngeliatin saya justru yang takut (emang teman Ryan). Bukan juga cemburu tapi ada perasaan bangga gitu lho! karena istri saya pandai berpenampilan menarik dan cantik lagi.

Saya jadi teringat semasa masih remaja dulu kala gigi saya masih tongos alias mancung ke luar (sekarang udah kena pergusuran jadi ga lagi tongos) haha.. dan badan saya masih ceking alias kurus kayak tiang listrik dan ditambah muka penuh jerawat sempat saya minder untuk mendekati gadis. Namun di saat SMP saya memberanikan diri untuk PDKT dengan gadis primadona sekolah dengan persaingan yang cukup ketat melawan sinyo-sinyo bermobil dan bermotor sementara saya hanya bermodal sepeda balap usang saya (itupun beli di pasar loak). Syukurlah perjuangan tak kenal lelah dan tanpa malu disertai percaya membuahkan sang primadona disisiku.

Mulai saat itulah saya percaya kelak saya akan punya istri yang cantik, putih, langsing, berambut hitam lurus, pintar, baik, pintar masak, dan rajin. Dan keyakinan saya itu terus saya pelihara walaupun ada saat dimana saya udah pasrah untuk tentukan pasangan hidup saya di saat usia saya udah mencapai kepala tiga. Sempat juga menurunkan standard calon istri saya namun pada akhirnya apa yang kita percayai terjadilah. Saya dapatkan istri seperti yang saya percayai. Heran kan? tapi itulah faktanya. Banyak hal yang sebelumnya saya percayai ternyata juga terjadi.

Apa yang kita percayai mendorong sikap dan tindakan kita untuk mencapainya. Dan ketahuilah bahwa yang Tuhan akan mengabulkan apa yang Anda percayai. Jadi berhati-hatilah pada apa yang Anda percayai khususnya pada masa depan Anda, sesuatu yang tak pernah kita ketahui seperti apa. Namun dengan mempercayainya di masa ini Anda akan mendapatkannya di masa depan. (AB) Baca Selengkapnya »»

Kamis, 14 Agustus 2008

PAHA Expo 2008


Dulu Indonesia terkenal dengan budaya sopan santunnya. Sopan dalam berbusana dan bertindak serta santun dalam berbicara namun agaknya budaya itu kian luntur saat ini. Era globalisasi dan arus informasi yang begitu bebasnya masuk ke negara kita selain membawa pengaruh positif juga membawa pengaruh negatif sebagai dampaknya. Budaya barat dengan bebasnya masuk ke negara kita, salah satunya budaya berbusana. Budaya berbusana seronok pun tak lagi seronok dengan dalih mengikuti "perkembangan mode".

Sejak saya tidak lagi berkantor di perusahaan orang lain, saya memiliki banyak tempat yang bisa saya jadikan kantor. Salah satu kantor favorite saya adalah food court mall. Kenapa? Karena tak perlu bayar sewa dan service charge namun saya mendapatkan meja dan kursi gratis plus AC, lampu, bahkan listrik gratis karena ada beberapa colokan yang bisa saya gunakan saat baterai laptop saya habis. Mau tahu kelebihan lainnya? Kalau di kantor perusahaan dulu pemandangannya membosankan karena hanya ada tumpukan file-file, mesin foto copy, meja rekan saya dan rekan-rekan kerja yang setiap hari saya temui selama bertahun-tahun. Boring tahu! Sementara kantor saya yang baru ini, pemandangannya beragam dan berbeda tiap hari, belum lagi kalau udah capek masuk deh ke Cinema XXI Enak kan? Haha… cukup dengan modal laptop, biaya parkir, biaya teh gopek, dan ongkos toilet. Itupun sering saya atur dengan waktu menjemput istri saya yang cuantikk! lebih hemat dan efisien kan? Bahkan banyak artikel di blog ini, saya buat waktu ngantor di mall.

Ada yang saya amati dari suasana kantor saya yang baru ini, yakni bagaimana gadis-gadis ABG berbusana. Gaya busananya sekarang ini jauh lebih gila dari saat saya remaja dulu. Para gadis ABG atau siuce-siuce ini pada pakai celana pendek dan rok mini yang pada memamerkan kemulusan PAHAnya. Jadi semacam pameran PAHA yang dikemas dengan celana pendek atau rok beragam motif dan warna belum lagi ditambah dengan belahan dada yang rendah. Wow.. busyet! Padahal setahu saya gaya berbusana seperti ini biasa dipakai di tempat lokalisasi dan tempat dugem. Namun ternyata saya salah, setelah saya dikurung di perkantoran orang selama beberapa tahun, saya jadi ga gaul lagi. Ada perubahan besar sedang terjadi.

Siauce-siauce sudah tidak malu lagi memakai busana yang memamerkan PAHA tak ubahnya KFC men-display paha ayamnya. Belum lagi tante-tante juga ikut-ikutan, rupanya si tante ga sadar bahwa kulitnya mulai berkeriput kok ikutan pameran hi..hi... Sebagai orang laki-laki saya tak munafik seneng juga hehe...tapi dihati ini miris dan prihatin. Saya hanya berpikir bagaimana Michele anak saya berbusana saat remaja nanti. Tentu jangan sampai terbodohi oleh hal semacam ini walaupun berkedok dibalik perkembangan mode.

Saya heran kenapa kita sebagai orang timur yang beradab, yang menjunjung etika termasuk dalam berbusana kok mau-maunya dibodoh-bodohi budaya asing yang belum tentu cocok dengan kepribadian kita, namun dengan bangganya bersembunyi dibalik "perkembangan mode" apa benar? Bukankah masih buanyak gaya berbusana yang lebih sopan, anggun, dan bersahaja namun tak ketinggalan jaman tanpa menggelar PAHA & DADA Expo.

Coba Anda renungkan adakah korelasi antara gaya berbusana PAHA Expo dengan tingkat seks bebas dikalangan generasi muda kita yang kian hari kian mengkhawatirkan? atau mungkin saya Ayah yang ketinggalan jaman? Bagaimana menurut Anda? (AB)

Baca Selengkapnya »»

Tambah Ruas Jalan...Pak!


Berkendaraan di Surabaya tak lagi menyenangkan seperti dulu. Pada jam-jam pergi dan pulang kantor banyak jalanan macet dan perempatan yang macet. Banyaknya kendaraan yang beredar di Surabaya dan tidak ada penambahan ruas jalan yang signifikan ditengarai sebagai penyebab macetnya Surabaya. Bila hal ini tak juga teratasi maka 5 tahun ke depan, jalanan Surabaya tak ubahnya seperti Jakarta yang lebih dulu terkenal sebagai benchmark kemacetan di dunia.

Tak adanya penambahan ruas jalan membawa dampak negatif yang cukup luas. Kemacetan menyebabkan waktu tempuh antar tujuan menjadi lebih lama, pemakaian BBM yang kian banyak, dan ditambah lagi dengan polusi udara yang kian parah. Coba bayangkan berapa banyak waktu kita yang terbuang hanya karena jalanan macet atau harus jalan memutar karena akses jalan terdekat ke tempat tujuan hanya ada satu itupun macetnya bukan main, akhirnya memilih untuk memutar. Sementara waktu tersebut harusnya dapat kita gunakan untuk lebih lama bertemu dengan keluarga, membangun komunikasi yang lebih berkualitas. Berapa banyak diantara kita setibanya di rumah sudah capek karena lelah diperjalanan dan inginnya cepat tidur. Berangkat kantorpun harus jauh lebih pagi karena jalanan yang dilalui macet. Waktu untuk keluargapun tersita karena kemacetan.

Karena jalanan pada macet maka pemakaian BBMpun lebih banyak, tarif angkot terpaksa mematok harga yang tinggi karena alasan BBM dan sopir angkot juga mengeluh karena dalam satu hari hanya 2 kali tarik. Biaya transport ini tentunya menyedot income bulanan yang diterima cukup banyak sehingga pemenuhan kebutuhan lainnya harus dikorbankan.

Coba bayangkan sebaliknya bila ruas jalan dan jumlah kendaraan sangat memadai artinya ruas jalan lebih banyak dari kendaraan yang beredar. Tentulah hal ini tidak menyebabkan kemacetan, kendaraan tidak perlu memutar cukup jauh dari satu tujuan ke tujuan lainnya. Hal ini menyebabkan tersedianya waktu lebih banyak bagi para keluarga karena pergi kerja lebih siang tak masalah tanpa takut macet, pulang kerjapun dapat segera sampai dirumah untuk bertemu anggota keluarga lainnya. Tentulah komunikasi dapat diupayakan lebih baik karena adanya waktu yang cukup. Pengeluaran keluarga untuk keperluan transport pun dapat berkurang sehingga dapat membeli kebutuhan lainnya.

Keuntungan dunia usahapun akan terasa bila ada penambahan ruas jalan baru. Waktu tempuh yang pendek tentu akan memperlancar jalur distribusi barang, biaya transport atau BBM juga berkurang, spare part kendaraan lebih awet, dan ongkos lemburpun dapat ditekan. Efisiensi ini tentu berdampak pada menurunnya biaya produksi yang ujungnya harga jual lebih kompetitif dan ini menguntungkan masyarakat sebagai konsumen.

Kalau kondisinya seperti itu, tentu akan menarik investor asing untuk berinvestasi di Indonesia apalagi kebijakan dan peraturan lainnya mendukung. (AB)

Baca Selengkapnya »»

Selasa, 12 Agustus 2008

Penjajahan Baru!


Tahun ini Indonesia berusia 63 tahun. Sebagian bilang usia ini cukup muda bagi sebuah negara, namun bagi saya usia ini sebenarnya udah cukup tua. Bagi yang bilang usia 63 muda menurut saya pastilah pejabat negara karena sebagai alasan pembenaran atas kondisi Indonesia saat ini sehingga masyarakat diharap memaklumi atas segala ketidakberesan tata negara. Mulai dari pembangunan ekonomi, pemberantasan kemiskinan, pengentasan daerah tertinggal, pengelolaan sumber daya alam sampai penegakan hukum yang amburadul.

Coba kita bandingkan dengan negara lain! Singapura memperoleh kemerdekaan pada 9 Agustus 1965, Korea Selatan pada tanggal 15 Agustus 1948. Usia negara mereka lebih muda ketimbang negara tercinta kita Indonesia. Dari sumber daya alam negara kita jauh lebih kaya ketimbang negara tetangga kita bahkan lebih kaya dari Australia. Namun faktanya negara tercinta kita di usia ke 63 masih termasuk negara miskin dunia, sedangkan Korea Selatan dan Singapura termasuk negara kaya. Ironis kan? Tanya kenapa?

Ternyata di usia 63 tahun kemerdekaan Indonesia, disadari atau tidak kita masih dalam penjajahan. Bukan penjajahan fisik oleh Belanda ataupun Jepang melainkan penjajahan non fisik. Penjajahan bentuk ini juga memberikan efek tak kalah merana bangsa ini saat dijajah Belanda. Penjajahan ini dalam bentuk :

1. Penjajahan mental, Indonesia telah menjadi negara terbesar dalam tindak korupsi. Korupsi telah menjadi bagian yang melekat di negara ini. Dunia politik, ekonomi, pendidikan, bahkan hukum tak lepas dari korupsi. Bantuan sosial pun di-embat sungguh keterlaluan. Ini menunjukkan bahwa penyelenggara negara ini telah dirongrong oleh oknum-oknum yang mentalnya terjajah. Mereka mengesampingkan kepentingan negara, kepentingan rakyat banyak yang ada di otak mereka adalah memperkaya diri. Ini menunjukkan otak mereka tak lebih besar dari dengkul mereka.

2. Penjajahan ekonomi, kebijakan-kebijakan ekonomi kita masih dikendalikan oleh kekuatan negara kaya yang tentunya sangat merugikan rakyat Indonesia dan menguntungkan pihak asing. Lihat aja kontra jangka panjang Free Port (PMA Amerika) yang hanya mengharuskan mereka membayar semacam Royalty atau apalah istilahnya yang nota bene hanya sebagian kecil keuntungan yang masuk ke kas negara. Harusnya pemerintah kita yang membayar royalti atas pemanfaatan teknologi asing sementara sebagian besar keuntungan lari ke kas negara. Ini tentu jauh lebih baik. Kebijakan BBM juga salah satu dampak ketergantungan kita terhadap asing. Alih-alih BBM naik, perusahaan minyak asing gencar membangun SPBU di Jakarta yang ujung-ujungnya kenaikan harga BBM akan semakin mempertebal pundi-pundi milik asing.

3. Penjajahan politik, lihat aja bagaimana era reformasi tidak lebih baik ketimbang orde baru. Demokrasi digaungkan oleh asing dengan merebaknya puluhan partai-partai politik yang bikin mumet makin banyak suara bukankah lebih bising dan runyem. Sementara negara yang menggaungkan “kemerdekaan demokrasi” hanya memiliki dua partai (demokrat dan republik) lalu yang bodoh sebenarnya siapa ya ? Jawab sendiri deh haha....

4. Penjajahan hukum, bagaimana jurus-jurus mabuk ala Druken Master kini ditunjukan oleh para petinggi gedung bundar. Boro-boro sibuk menegakkan keadilan malah sebaliknya sibuk menjual perkara layaknya pengusaha. Menjual “kebenaran” adalah keahliannya. Jadi sales aja deh pak! Ga usah jadi jaksa apalagi jaksa tinggi. Ntar jatuh lho karena ketabrak angin KPK. Belum lagi pak Pol (polisi maksudnya)lagi-lagi dipenuhi para detektif yang merangkap sebagai penjual jasa perdamaian.

Penjajahan inilah yang kini masih bercokol di sebagian besar oknum penyelenggara negara yang membuat bangsa ini berjalan mundur kebelakang dari semangat proklamasi. Yang membuat negara kita menjadi negara miskin sementara kekayaannya beralih ke tangan asing dan tangan koruptor. Namun untungnya masih ada tangan-tangan bersih yang siap membangun bangsa demi kepentingan rakyat, sayangnya jumlah mereka tidaklah banyak. Di usia 63 tahun ini, saya pribadi berharap semakin banyak orang-orang yang bersih, yang hati dan otaknya tidak bergambar US$ mau berpartisipasi dalam membangun negeri dan membangun mental anak bangsa.

Dirgahayu Indonesiaku tercinta! (AB)

Baca Selengkapnya »»

Grusak Grusuk


Kata ini diambil dari bahasa Jawa yang artinya tergesa-gesa, mengandung pengertian tindakan yang tidak dipikirkan secara matang perihal konsekuensi yang muncul dikemudian hari pasca eksekusi tindakan yang diambil. Tindakan yang lebih menonjolkan emosi ketimbang rasional. Kebanyakan hasil yang didapat adalah kerugian yakni buang waktu, tenaga, uang, dan penyesalan(kalau sadar). Nah, untuk urusan ini dua hari lalu saya mengalaminya.

Minggu lalu saya ada masalah dengan remote control power point saya yang agak primitif karena pakai teknologi RF dan bukan wireless jadi ada kabel di receiver-nya. Salah satu tombolnya lecek sehingga mengganggu saya saat lakukan training dan tentu ini mempengaruhi performa saya sebagai trainer dan merugikan audiens saya. Saking sebelnya malam itu selepas training sayapun segera mencari remote control dengan teknologi bluetooth di dunia maya. Akhirnya saya putuskan membeli K750i yang memiliki feature remote control untuk power point karena alat yang khusus untuk keperluan presentasi saya tidak temukan di website Indonesia hanya website luar negeri dan itu harganya paling murah US$ 119. Dan diperkuat oleh beberapa teman bahwa di Surabaya tidak pernah dijumpai remote control khusus untuk presentasi dengan teknologi bluetooth.

Keesokan harinya langsung menuju WTC untuk cari K750i second karena sudah tidak diproduksi lagi. Setelah mencarinya di belasan toko akhirnya alih-alih mencari K750i mendapatkan K550i baru dan lebih mahal lagi. Namun koneksi bluetooth K550i dengan laptop saya yang telah nyambung tidak mampu menggerakkan power point seperti yang diharapkan walaupun feature telah mendukung dan setting telah mengikuti petunjuk. Berbagai informasi dari dunia maya telah saya coba pula sebagai referensi hingga dini hari, toh itupun tak membantu.

Hebatnya besoknya K550i langsung saya jual kembali dengan kerugian sekian rupiah karena hati udah terlanjur esmosi (baca:emosi). Saat hati tenang sayapun coba telpon beberapa vendor IT yang saya dapatkan dari buku yellow pages, ternyata remote control khusus power point dengan teknologi bluetooth ada bung di Surabaya! setidaknya ada 2 vendor yang menyediakan harganya sepertiga dari K550i. Salah satunya dekat rumah saya lagi. Nyesel jadinya karena grusak grusuk.

Akibat dari grusak grusuk saya harus rugi sekian rupiah, waktu yang terbuang, tenaga, dan kuping terpaksa harus mendengar "nyanyian" merdu sang istri hehe... Namun saat saya tenang dan mencoba mencari informasi dengan cermat dan hati tenang maka sayapun dapat informasi lebih lengkap, dapat membandingkan harga dan kelebihan masing-masing produk. Bagusnya lagi, sebelum saya membelinya sayapun dapat mencoba dua remote control power point di ruang khusus dengan pelayanan yang sangat familiar. Wow.. ini hasil tindakan tanpa grusak grusuk.

Bagaimana bila tindakan grusak grusuk ini dilakukan oleh seorang pemimpin perusahaan dalam pengambilan keputusan strategis dan penting, tentu hasil yang diakibatkan jauh lebih besar baik secara nilai uang, waktu dan penyesalannya. Anehnya bila sudah "nabrak" seperti ini dengan entengnya sang bos berkata, "anggap aja uang sekolah!". Tapi bila langkah grusak grusuk ini berulang kali dilakukan sang bos pertanyaan berikutnya adalah "kapan naik kelasnya bos?". Bagaimana menurut Anda? (AB)

Baca Selengkapnya »»

Jumat, 08 Agustus 2008

Jangan Berebut Kue BOSS..!


Sejak saya beralih profesi sebagai karyawan ke self employee saya memiliki tambahan pekerjaan yaitu membantu istri sebagai Bapak Rumah Tangga (BRT), ya maklumlah karena ada hari-hari saya yang kosong menunggu order, sementara istri masih bekerja di salah satu perusahaan besar di Surabaya. Sebagai suami yang baik tentulah saya harus membantunya agar dia dapat lebih konsentrasi dengan pekerjaannya.

Kemarin saya diminta istri untuk berbelanja di Papaya Supermarket, supermarket yang membidik segmen atas. Sewaktu saya sampai di parkiran Papaya semua pelanggannya bermobil dan sebagian besar memakai sopir pribadi. Ini terlihat dari tidak adanya sepeda motor yang parkir disitu selain parkir sepeda motor karyawan dan ada segerombolan sopir pribadi yang lagi ngobrol santai.

Supermarket ini memiliki keistimewaan yang berbeda dengan supermarket lainnya yaitu produk yang terjual sebagian tidak terjual di tempat lainnya, produk tersebut adalah produk Jepang dan produk luar negeri lainnya. Produk luar tersebut mulai dari snack, biskuit, candy, beverage, frozen food, sampai coklatpun ada. Papaya juga menawarkan nuansa Jepang dari lagunya, layoutnya, produk fresh, dan masakan khas Jepang. Pokoknya beda banget deh..! Ditambah lagi barang-barang non food baik asesoris, house ware, stationery, mainan, dan souvenir khas Jepang pun terjual di tempat ini dengan satu counter tersendiri yaitu Daiso. Plus counter bakery merk Komugi juga menambah keistimewaan Papaya. Troly dan keranjang belanjapun baru pertama kali ini saya melihatnya di Surabaya, saya yakin itupun di impor dari Jepang.

Papaya pandai melihat peluang dan ceruk pasar yang belum disentuh oleh pemain supermarket lainnya. Papaya jeli melihat kekurangan pesaingnya yakni supermarket Sinar Bintoro yang tidak maksimal bermain di segmen atas. Papaya mengambil ceruk ini dengan cerdiknya dan kini bisa dikatakan bahwa Papaya bermain sendirian di segmen ini, kehadiran Ranch Market-pun tidak berdampak pada pasar Papaya yang telah terbentuk kuat, walaupun keduanya bermain di pasar atas.

Papayapun pandai memilih lokasi di kawasan elite Surabaya yaitu di kawasan Darmo Surabaya Barat dan kawasan Margorejo Surabaya Selatan. Kedua lokasi ini terkenal sebagai tempat tinggal orang kayanya surabaya. Sementara pusat kota ada SOGO supermarket (relatif sepi) dan Ranch Market di Kawasan Dharmahusada. Praktis Papaya melenggang sendirian di pasarnya.

Papaya tidak perlu banting harga ataupun promosi segencar supermarket lainnya. Mereka hanya menggunakan kekuatan word of mouth alias getok tular di antara pelanggan setia mereka. Mereka bahkan dapat menikmati margin diatas rata-rata industri supermarket tanpa harus bertarung di sisi harga. Bagi pasar atas harga adalah nomor sekian setelah pelayanan dan kenyamanan berbelanja. Bahkan harga beberapa barang impor merekapun lebih murah ketimbang supermarket lainnya yang biasanya di supermarket lain produk impor adalah produk bermargin tinggi karena sebagai penyeimbang produk bermargin rendah.

Papaya menjalankan konsep blue ocean ketimbang berebut kue dengan pemain lainnya lebih baik mencari kue sendiri. Dan kini Papaya seolah-oleh berteriak kepada pemain supermarket lainnya “Jangan berebut kue bos!” (AB)

Baca Selengkapnya »»

Kamis, 07 Agustus 2008

Untuk Hidup Itu MURAH!


Sewaktu istri saya mendengar ada teman orang tua saya yang bekerja sebagai buruh pabrik dengan gaji tak lebih dari 1,5 juta rupiah dapat memenuhi kebutuhan istri dan ke tiga anaknya kontan aja dia langsung kaget dan serta merta berkata "bisa ya hidup dengan income sebesar itu?" Sambil tersenyum saya pun berkata, "Ya bisa lha yank.. buktinya dia dan keluarga masih hidup kok!"

Besarnya income untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang sebenarnya tak lepas dari gaya hidup orang itu sendiri. Untuk membeli susu saja ada yang beli Dancow, ada yang Chil Mill Reguler, dan ada juga yang Chil Mill Platinum yang membedakan adalah kualitas dan harga produk. Ada yang beli diapers Sweety, ada juga Mami Poko. Ada yang untuk keperluan makan 50ribu, namun ada yang sekali makan cuma 5ribu. Keperluan anak sekolah kualitas kampung atau kelas internasional. Dan masih banyak perbedaan lainnya.

Apapun perbedaannya sebenarnya hanya terletak pada bagaimana gaya hidup kita. Dan gaya hidup ini tak ada batasannya karena menyangkut keinginan, status, kemewahan, dan gengsi. Inilah letak mahalnya. Gaya hidup seiring dengan kualitas hidup sementara biaya hidup lebih pada kebutuhan dan fungsi. Ini tak perlu mengeluarkan kocek berlebih.

Pertanyaannya seberapa banyak orang yang mau hidup sekedar hidup tanpa pedulikan kualitas hidup? tentulah setiap kita ingin kehidupan yang berkualitas namun untuk itu kita perlu "membayar harga" terlebih dulu dengan memperbesar kapasitas kita agar kapasitas kualitas hidup lebih besar sehingga kita mampu memperbesar gaya hidup.

Memperbesar kapasitas memerlukan kemauan, kerja keras, konsistensi, pantang menyerah, terus mau belajar, dan mengandalkan kekuatan-NYA. Bila kita lakukan hal ini mulai dari diri kita sendiri, mulai dari hal kecil, mulai sekarang dan kita lakukan secara terus menerus maka kualitas hidup kita perlahan namun pasti akan meningkat. Peningkatan kualitas hidup akan membuat gaya hidup kita lebih baik dan akhirnya bikin hidup lebih hidup. Sukses selalu! (AB)

Baca Selengkapnya »»

Ada Kue Tambahan


Beberapa waktu lalu, dua kolega saya merisaukan masuknya pemain-pemain retail nasional ke daerah mereka. Mereka kuatir bahwa "kue" yang selama ini dinikmati akan berkurang porsinya. Kalau bersaing sesama pemain lokal tak ada masalah karena selama ini porsi besar 'kue' ada ditangan mereka. Kekuatiran ini adalah wajar asal jangan sampai kekuatiran ini mengurung mereka untuk berhenti ditempat, justru kekuatiran akan masuknya pemain nasional dijadikan pemicu kreatifitas untuk mempertahankan atau bahkan memperbesar porsi kue.

Dunia retail di Indonesia dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar yakni traditional trade (pasar tradisional, toko kelontong, pasar malam, dsb) dengan modern trade (hypermarket,supermarket, mini market). Secara umum yang membedakan adalah cara transaksi, display barang, kenyamanan, dan jumlah item barang. Porsi belanja konsumen Indonesia akan kedua jenis ini relatif berimbang khususnya di kota metropolis seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Yogyakarta, Semarang dan kota-kota besar di Jawa. Sedangkan di kota-kota kecil di Jawa dan sebagian besar kota di luar Jawa, pasar tradisional masih menempati urutan pertama dalam perilaku belanja konsumen.

Namun modern trade dari tahun ke tahun terus mengalami pertumbuhan yang menggembirakan baik dari jumlah outlet maupun dari value (omset). Sementara traditional trade makin tahun porsinya semakin menurun. Hal ini adalah peluang bagi pemain retail lokal maupun nasional, ini menunjukan bahwa porsi 'kue' semakin besar untuk diperebutkan.

Alasan inilah yang membuat pemain nasional mulai merangsek ke daerah di luar Jawa khususnya yang bermain di hypermarket dan mini market. Untuk supermarket, Hero, Matahari, & Ramayana telah jauh-jauh menancapkan benderanya di berbagai kota. Masalahnya pemain lokal saat ini gerah dengan masuknya hypermarket yang memang bikin heboh. Dengan luas area yang besar, puluhan ribu item barang, kenyamanan gedung, dan mampu menjadi arena rekreasi, tentu bikin pemain lokal ketar-ketir.

Dibalik kehebohan dan kekuatan hypermarket, sebenarnya pemain lokal harusnya mensyukuri kehadiran mereka. Emangnya kenapa? Dengan kekuatan promosi dan segala kelebihan mereka dapat menggerakan konsumen traditional trade mencoba enaknya berbelanja di modern trade. Nah disinilah muncul porsi 'kue' yang lebih besar bagi industri modern trade. Saat konsumen baru ini menikmati kenyamanan berbelanja di modern trade dan akhirnya mampu membandingkan harga reguler di hypermarket yang relatif lebih mahal (diluar barang promosi) dan pertimbangan jarak yang jauh dengan rumah konsumen akan mengalihkan konsumen baru ini untuk mencoba modern trade lainnya termasuk yang dikelola pemain lokal. Menurut survey Neilson lembaga periset mengatakan frekwensi orang berbelanja di hypermarket rata-rata 1x sebulan. Untuk belanja mingguan umumnya mereka mencari di dekat rumah. Nah kalau udah begini yang diuntungkan adalah pemain lokal yang siap menangkap peluang ini dengan kreatif dan siap menyajikan kenyamanan, kelengkapan barang, dan harga yang bersaing. Bukan porsi 'kue' berkurang namun sebaliknya ada 'kue' baru yang akan menambah isi kantong pemain lokal. Bagaimana menurut Anda?(AB)

Baca Selengkapnya »»

Senin, 04 Agustus 2008

Abang Tukang Bakso


"Abang tukang bakso, mari mari sini aku mau beli..." Kita semua familiar dengan lagu ini. Bahkan para peserta Amazing Race Asia sewaktu berpetualang di Jakarta pun menyanyikan lagu ini sambil mendorong rombong bakso. Lagu ini memang tak lepas dari merakyatnya bakso di seantero nusantara. Dari pejabat negara sampai rakyat kecil terbiasa makan bakso. Dari perumahan mewah sampai kampung-kampung kumuh tak lepas dari abang tukang bakso dan rombong-nya.

Karena begitu merakyat-nya bakso di lidah orang Indonesia maka tak pelak bakso telah menciptakan lapangan kerja yang tak sedikit jumlahnya. Mungkin di Indonesia ada puluhan ribu abang tukang bakso yang tersebar di berbagai pelosok. Ini tentunya menggerakan usaha lainnya. Berapa banyak sapi yang terjagal setiap harinya guna memenuhi kebutuhan daging sapi, Berapa banyak tepung, mie, sayuran dan lainnya. Ini bisnis besar bung! alasan inilah yang mendorong abang tukang bakso harus melakukan perbaikan dalam mengemas bisnis ini, maka muncullah kini abang tukang bakso modern yang hadir di mal-mal ada Mister Baso, Bakso Lapangan Tembak, Bakso Kota dan masih banyak lainnya. Mereka tak hanya jago membuat bakso tapi juga mengelola modal kerjanya, hadir di mal dan dengan konsep resto tentu membutuhkan modal besar. Mereka juga hadir tidak perlu mengusung rombong-nya, konsep resto, bersih, ber-AC, dan nyaman ditawarkan pada para pecinta bakso. Tentunya para pecinta bakso harus merogoh kocek lebih dalam namun toh ini tak jadi masalah asal taste sepadan.

Kehadiran bakso modern ini tak serta merta membuat bakso tradisional tergeser karena target pasar mereka juga berbeda dan jumlah bakso modern juga relatif sangat sedikit. Bakso tradisional juga menghadapi isu penggunaan borax dan formalin, toh hal itu tak juga menyurutkan pecinta bakso.

Fisik bakso pun kini hadir bukan cuma bulat namun juga berbentuk kotak dan bukan cuma berisi daging sapi tapi juga ada yang berisi keju. Beberapa bahkan menghadirkan bakso bakar. Apapun inovasinya, dimaksudkan agar bakso tidak kalah dengan jenis masakan lainnya. Sayang ditengah era perubahan yang demikian cepat masih banyak abang tukang bakso yang kehidupannya tak sesuai harapan.

Adalah Cak No, abang bakso yang lebih dari 25 tahun tekun berjualan bakso di depan sekolah SMP saya hingga saat ini kehidupannya pas-pasan. Dan masih banyak abang tukang bakso lainnya yang bernasib sama. Namun hanya sedikit abang tukang bakso yang kini hidup mapan lebih dari orang yang memiliki jabatan direktur sekalipun. Memang harga bakso sekarang bukan lagi "dua ratus perak" tapi hal itu tak serta merta menaikkan kualitas hidup mereka. Hanya mereka yang mau maju dan berbenah dirilah yang terus survive dan berkembang. Mereka yang berkembang konsisten menjaga kualitas "taste", mengelola dengan benar keuangan, memanfaatkan peluang, membangun brand, dan terus mau belajar. Bagaimana dengan kita? (AB)

Baca Selengkapnya »»

Jumat, 01 Agustus 2008

Agama Saja Tak Cukup

Seorang bijak sedang berjalan-jalan ketika seorang laki-laki terburu-buru keluar dari lorong pintu. Keduanya bertabrakan dengan keras. Orang itu marah-marah dan mengeluarkan kata-kata kasar. Namun, orang bijak tetap tenang dan tidak membalasnya. Ia hanya sedikit membungkuk, tersenyum dan berkata, “Sahabatku, saya tidak tahu siapakah di antara kita yang bertanggung jawab atas ‘perjumpaan’ ini, tetapi saya tidak mau membuang-buang waktu untuk menyelidikinya. Jika saya yang menabrakmu, saya minta maaf. Jika Anda yang menabrak saya, tak apa-apa.” Setelah berkata demikian, orang bijak ini kemudian tersenyum dan membungkuk lagi, lalu meneruskan perjalanannya.

Pembaca yang budiman, dalam kehidupan kita sehari-hari, berapa banyakkah “tabrakan” semacam ini yang Anda alami? Cobalah Anda bayangkan, berapa banyaknya waktu kita terbuang untuk meributkan hal-hal yang sepele. Berapa banyaknya waktu yang kita luangkan untuk beradu argumentasi, saling menyalahkan, dan saling menjatuhkan. Berapa banyak pula waktu berharga yang kita buang untuk memikirkan masalah sepele serta menyimpan dendam dan sakit hati?


Saya yakin kita semua tentunya ingin bisa bersikap seperti si orang bijak. Richard Carlson, konsultan stres asal Amerika Serikat, menyebut sikap semacam ini sebagai “Don’t Sweat The Small Stuff”. Menurut Carlson, kebanyakan peristiwa yang kita ributkan setiap hari kalau dilihat dari perspektif yang lebih luas sebetulnya hanyalah masalah kecil, masalah yang bahkan setahun dari sekarang pun tak akan pernah kita ingat lagi. Inilah yang terjadi dengan si orang bijak. Persoalannya, bagaimana cara hidup semacam itu?

Kita tak akan meributkan masalah sepele kalau kita tahu bahwa masalah tersebut memang benar-benar sepele. Persoalannya, kita sering kali tidak tahu mana masalah besar dan mana masalah sepele. Ketidaktahuan ini membuat kita menganggap semua masalah sebagai masalah besar.


Lantas, bagaimana cara mengetahui mana masalah besar dan mana masalah kecil? Tak ada jalan lain, Anda harus merumuskan misi hidup Anda. Hidup sebenarnya hanyalah terdiri dari dua bagian: hal-hal penting dan hal-hal yang tidak penting. Merumuskan misi hidup berarti menentukan apa saja yang penting dalam hidup kita. Tanpa ini, semua hal akan terlihat penting.



Namun sayangnya, banyak orang yang menganggap kegiatan merumuskan misi hidup sebagai kegiatan yang menghabiskan waktu. Mengapa kita perlu merumuskan misi hidup? Bukankah kita sudah mempunyai agama? Bukankah agama sudah merupakan bekal yang cukup untuk hidup?



Padahal, kenyataan di lapangan sering berbicara lain. Betapa seringnya kita mendengar orang-orang yang beragama, hafal isi kitab suci, senantiasa menggunakan istilah-istilah agama dalam kosa katanya, rajin beribadah, tetapi malah mempertaruhkan harga diri dan kredibilitasnya untuk kenikmatan sesaat. Bukankah sudah terlalu banyak contoh orang-orang beragama yang rusak kredibilitasnya hanya karena persoalan-persoalan sepele? Mengapa agama tidak mampu menghindarkan mereka dari persoalan harta, takhta dan wanita?

Saya akan mengatakan dengan sangat tegas, agama saja belum cukup. Agama lebih sering bersifat outside–in. Ini berarti ada kekuatan dari luar yang ”memaksa” Anda melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dengan kata lain, belum terjadi internalisasi dalam diri Anda. Ini tentu saja berbeda bila Anda merumuskan misi hidup Anda. Merumuskan misi hidup adalah kegiatan inside-out. Anda memutuskan jalan hidup Anda dengan penuh kesadaran. Anda menemukan makna hidup Anda yang terdalam. Anda menentukan ingin dikenang sebagai apa. Orang yang merumuskan misi hidup tak sekadar beragama. Ia adalah orang yang spiritual.


Perbedaan antara orang yang beragama dan orang yang spiritual adalah pada timing pengambilan keputusan. Orang beragama acapkali mengambil keputusan pada saat suatu kejadian sedang terjadi, sementara orang spiritual yang telah menentukan misi hidupnya mengambil keputusan jauh-jauh hari, bahkan sebelum peristiwa apa pun terjadi.

Pada saat stimulus yang menggiurkan terjadi -- kesempatan korupsi, kolusi, selingkuh, dan sebagainya – orang beragama biasanya baru berpikir-pikir. ”Apakah saya akan mengambil kesempatan ini?”, ”Apakah lebih baik saya menolaknya saja?”, ”Manakah yang lebih besar: keuntungannya ataukah risikonya?” Inilah saat-saat genting di mana seseorang yang beragama melakukan pengambilan keputusan. Namun, saat-saat seperti itu tentu saja sangat rawan karena stimulus yang datang bisa sangat menggoda dan membuat kita terlena. Dalam situasi tersebut, keputusan kita sering sangat dipengaruhi situasi dan kondisi, keadaan emosional kita, serta berbagai kepentingan sesaat. Ini tentu saja berbeda dari orang yang spiritual. Mereka telah memutuskan jauh-jauh hari mengenai mana yang penting dan mana yang sepele. Karena itu, mereka tidak akan gamang menghadapi stimulus yang menggoda sekalipun.

Namun, sebenarnya ada alasan yang jauh lebih fundamental lagi ketimbang memiliki misi hidup semata. Orang yang spiritual mempunyai kesadaran makro mengenai misi hidup ini setiap saat. Untuk bisa melampaui stimulus fisik, kita harus selalu terhubung dengan pusat spiritual kita yang sejati. Inilah sebenarnya modal spiritual yang harus dimiliki setiap orang: perasaan terhubung dengan sumber spiritual. Akan tetapi, hal itu hanya bisa dilakukan dengan dua cara. Ibarat telepon seluler, pertama-tama, kita perlu senantiasa men-charge baterai kita. Kedua, kita juga harus menjaga agar sinyal yang kita terima selalu kuat setiap saat. Sebetulnya, sumber spiritual senantiasa memancarkan sinyal-Nya kepada kita. Namun, kitalah yang kerap menghalangi datangnya sinyal tersebut. Kita menutupi diri kita dengan berbagai stimulus fisik sehingga tak terhubung dengan pusat spiritual. (Artikel : Arvan Pradiansyah)

Baca Selengkapnya »»